Nama Kebumen konon berasal dari kabumian yang berarti sebagai tempat
tinggal Kyai Bumi setelah dijadikan daerah pelarian Pangeran
Bumidirja atau Pangeran Mangkubumi dari Mataram pada 26 Juni 1677,
saat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Sebelumnya, daerah ini sempat
tercatat dalam peta sejarah nasional sebagai salah satu tonggak
patriotik dalam penyerbuan prajurit Mataram di zaman Sultan Agung ke
benteng pertahanan Belanda di Batavia. Saat itu Kebumen masih bernama
Panjer.
Salah seorang cicit Pangeran Senopati yaitu Bagus Bodronolo yang
dilahirkan di desa Karanglo, Panjer, atas permintaan Ki Suwarno,
utusan Mataram yang bertugas sebagai petugas pengadaan logistik,
berhasil mengumpulkan bahan pangan dari rakyat di daerah ini dengan
jalan membeli. Keberhasilan membuat lumbung padi yang besar artinya
bagi prajurit Mataram, sebagai penghargaan Sultan Agung, Ki Suwarno
kemudian diangkat menjadi Bupati Panjer, sedangkan Bagus Bodronolo
ikut dikirim ke Batavia sebagai prajurit pengawal pangan.
napak tilas sejarah KEBUMEN
Angkatan Oemat Islam (AOI) itu suatu gerakan Islam modern yang -meski cenderung revivalis- namun punya potensi besar untuk berkembang dan bersejajar dengan gerakan modern seperti NU maupun Muhammadiyah. Hanya saja, gerakan AOI terlanjur abortif, dalam istilah (alm) Kuntowijoyo, gerakan yang mati muda sebelum gejala-gejala dan tanda-tandanya sempat terucapkan. Namun yang jelas, AOI tidak bisa dilepaskan dari Pesantren al-Kahfi Somolangu. Kebetulan saya kenal baik dengan sebagian keluarga inti Somolangu, ditambah dengan paparan pak Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Bandung : Mizan) yang aslinya dipaparkan dalam Seminar Sedjarah II tahun 1970, maka kita bisa memperoleh gambaran bagaimana AOI dan Somolangu ini sebenarnya.
Pesantren Somolangu itu pesantren tertua di Kebumen,bahkan di tlatah Jawa Tengah bagian selatan. Selain Somolangu, pesantren tua lain di sini adalah Pesantren Lirap Petanahan dan Pesantren Salafiyyah Wonoyoso. Namun K.H. Ibrohim Nuruddin baru mendirikan Lirap di awal abad ke-20 dan K.H. Nasuha meletakkan pondasi Salafiyyah pasca kepulangannya dari Makkah bersama K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) di awal abad ke-20 juga. Sementara Somolangu didirikan jauh hari sebelumnya, yakni pada ± 1000 H atau 1590 M oleh Syekh Abdul Kahfi Awwal, ulama Hadramaut yang merantau ke Jawa menyokong eksistensi Kerajaan Islam di Jawa dan selanjutnya bermukim di lembah Sungai Kedungbener. Jejak2 arkeologis menunjukkan lembah ini telah dihuni manusia sejak abad ke-8 M, ditandai keberadaan sepasang yoni dan sejumlah lingga dari batu andesit berlanggam Jawa Tengahan (ciri khas abad ke-8 M) yang terpreservasi dengan baik. Lingga dan Yoni, sebagai simbol kesuburan, diketahui hanya didirikan oleh komunitas Hindu (Syiwa) yang besar dan telah menjadikan tempat tersebut sebagai hunian tetapnya. Maka ada asumsi, komunitas Hindun yang terorganisir itulah yang ditemukan Syekh Abdul Kahfi Awwal dan diislamkan
Syekh Kahfi Awwal terkenal egaliter, bahkan konon sampai sekarang meski beliau sudah wafat ratusan tahun silam. Ada cerita tiap kali makamnya yang terletak di Bukit Lemah Lanang (± 2 km sebelah timur Mapolres Kebumen) hendak diberi cungkup atau tetenger seperti umumnya makam2 lainnya, upaya itu tidak pernah berhasil. Cungkup/tetenger selalu ditemukan sudah 'terbang' ke persawahan di sebelah baratnya. Bukit Lemah Lanang sendiri -menurut dugaan saya, meski sangat lemah- kemungkinan dulu bekas candi.
Menurut cerita, nama Somolangu diberikan oleh Raden Patah (Sultan Alam Akbar al-Fatah) dari kerajaan Demak Bintoro, yang mengatakan "tsumma dha'u" (artinya disinilah tempatmu) ketika menghadiahkan tanah di lembah Sungai Kedungbener itu kepada Syekh Kahfi,namun nang ilate wong Jawa (apamaning wong Kebumen) berubah jadi "Samalangu", dan akhirnya jadi "Somolangu" malah kadang jadi "Semlangu". Tapi dalam konteks sejarah, cerita ini rancu, soale Sultan Demak ketiga saja, yakni Sultan Trenggono, telah wafat pada 1546 M saat penyerbuan Pasuruan. Setting waktu yang lebih rasional mengaitkan berdirinya pesantren al-Kahfi Somolangu dengan akhir dinasti Pajang (Sultan Hadiwijaya) ataupun Mataram Islam awal (mungkin era Panembahan Senopati ataupun Panembahan Ratu/Panembahan Seda ing Krapyak).
Maka usia Somolangu jauh melampaui Kebumen sendiri. Bahkan dalam Babad Kebumen disebutkan, Joko Sangkrip, yang kelak menjadi KRT RAA Aroengbinang I yang keturunannya menjadi bupati2 Panjer/Kebumen sejak 1833 hingga masa Perang Dunia II, ikut nyantri di Somolangu di bawah asuhan Syekh Abdul Kahfi Awwal ini (meski diceritakan Joko Sangkrip ini santri mbeling sontoloyo gemaguse babar blas tukang ngintip wong wadon adus).
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Namun panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950. AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan ± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu. Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman, pengasuh ponpes saat itu, yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya K. Sururudin. K. Sururudin ini bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (bupati Kebumen saat ini). Badan ini lalu bergabung dalam pasukan Hizbullah-Sabililla h yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.
Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih besar. Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabililla h bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU Kebumen). Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa menganeksasi Somolangu, meski pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen - Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.
Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran Pekik). Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya. Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi - menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan, AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-apakan. "
Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS. Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas berasal dari TNI.
Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli 1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas. Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang lewat dengan jipnya, juga sampai tewas. Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.
Maka berlangsunglah Bharatayudha. Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri. APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol. Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan. M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di Jawa Barat, hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang "memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.
Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan mati menyedihkan.
Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Menjadi ironi bahwa di kemudian hari Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk sang big-boss - Soeharto, yang sampe2 membangun helipad khusus.
AOI langsung padam setelah wafatnya Sykh Mahfudz. namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H. Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama beberapa bulan, karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1 Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian.
Namun kini stigma ekstrem kanan itu mulai pupus, seiring naiknya K.H. Nashiruddin al-Manshur ke tampuk Bupati Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar